Terinspirasi ikutan Jakarta Walking Tour (@jktgoodguide), sempat kepikiran untuk ikut kegiatan serupa di Yogyakarta buat muterin tempat-tempat sejarah yang mungkin kalo saya jalan sendiri nggak bakal tau what the story and history behind... Tapi karena sampai H-sekian nggak ada balasan email (kayaknya rute Kotagede ini juga in high demand), jadinya ke sana ditemenin sama dua orang teman kerja yang notably orang asli Yogya..
Jalan-jalan ke Yogyakarta kali ini sambil tipis-tipis napak tilas sejarah di Kotagede.
Kenapa tiba-tiba memutuskan ke sini? Jadi ceritanya waktu itu buat persiapan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) CPNS, saya malah terdistraksi nonton film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018) di Netflix. Maksudnya biar nggak susah-susah baca buku sejarah, mending belajar sambil nonton aja hhehe.. Trus saat liat scene bagian pemakaman Sultan Agung di Kompleks Makam Imogiri, Bantul dan langsung terpikat sama undak-undakan di gapura pintu masuknya yang bagus banget menurut saya 😅. Setelah googling-googling, eh ternyata di Kotagede juga ada lho versi pertama dan lebih mini tapi nggak kalah sisi historisnya.
Sedikit pengantar, Kotagede mulanya adalah pusat Kerajaan Mataram Kuno (Hindu) yang kemudian dipindahkan ke Jawa Timur (konon salah satu alasannya akibat letusan gunung merapi yang dahsyat) sehingga wilayah ini berubah menjadi hutan lebat yang dikenal dengan nama Alas Mentaok. Beberapa abad kemudian, Alas Mentaok menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Pajang yang dihadiahkan oleh Sultan Hadiwijaya (Sultan Pajang saat itu) kepada Ki Gede Pemanahan. Alas Mentaok ini kemudian dijadikan sebagai sebuah kadipaten kecil yang dinamai Mataram oleh Ki Gede Pemanahan yang kemudian kepemimpinannya dilanjutkan oleh Danang Sutawijaya (Dikenal juga dengan nama Senopati). Singkat cerita, Senopati menjadi Raja Kesultanan Mataram yang pertama bergelar Panembahan. Nah, Alas Mentaok yang tepatnya berada di daerah Kotagede saat ini dulunya pernah menjadi ibukota Kasultanan Mataram.
I remember the lullaby story of my father when I was 7 years old talked about the war between Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) versus Arya Penangsang.. With help from Ki Ageng Pamanahan, Ki Panjawi and Ki Juru Martani (known as the Three Musketeers of Mataram), they defeated Arya Penangsang.. In those war, Danang Sutawijaya (the son of Ki Ageng Pamanahan which also the adopted child of Sultan Hadiwijaya, which then would be known as Panembahan Senopati the first King of Mataram Sultanate) help his fathers.
Perjalanannya dimulai dari sini...
Jadi, menurut Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, konsep tata kota/tata wilayah tradisional Jawa di Kotagede menerapkan empat elemen (catur gatra), yang terdiri dari rumah raja, pasar, alun-alun, dan masjid. Dari keempat elemen tersebut, yang masih dapat dilihat sampai sekarang hanya masjid (masjid Ageng) dan pasar Kotagede.
Well,.. kali ini kita bakal jalan-jalan ke Masjid Gede Mataram dan kompleks pemakaman Raja-raja di Kotagede yang tepatnya berada di Sayangan, Jagalan, Kec. Banguntapan, Kab. Bantul, Yogyakarta. Untuk menuju ke sana, pengunjung dapat menggunakan Trans Yogya kemudian dilanjutkan dengan transportasi online menuju ke lokasi.
Tidak jauh dari pakiran, kita berjalan menyusuri sebuah gang kecil dengan gapura berarsitektur paduraksa (arsitektur Jawa & Bali kuno yang merupakan perpaduan Hindu-Buddha) pada bagian ujung jalan. Pertama-tama, kita tidak langsung masuk ke dalam gapura melainkan berjalan mengelilingi tembok luar dari kompleks masjid dan makam terlebih dahulu.
Dari luar kompleks ini kita bisa melihat tembok besar yang dibangun mengelilingi kompleks Masjid Gede dan Pemakaman, serta Sendang Kemuning yang berbaur dengan rumah penduduk. Dari tembok luar juga kita bisa melihat Sendang Kakung dan gapura masuknya.
Setelah memutari pagar kompleks dari luar, saatnya kita memasuki gapura yang langsung menuju ke halaman Masjid Gede. Di sebelah kanan papan nama dan papan penjelasan, terdapat prasasti hijau yang menceritakan proses pembangunan Masjid Gede yang belangsung dalam dua tahap, yaitu tahap pertama oleh Sultan Agung dan tahap kedua oleh Paku Buwono X.
Masjid Gede sendiri memiliki arsitektur limasan, sebuah gaya arsitektur Jawa yang sudah ada sejak zaman Mataram Kuno, yang dicirikan dengan atap yang berbentuk limas dan ruangan yang terbagi menjadi ruang inti dan serambi. Hingga saat ini Masjid Gede masih aktif digunakan oleh warga untuk kegiatan keislaman.
Selanjutnya, disebelah kiri terdapat gapura memasuki kompleks pemakaman lapisan yang pertama. Di situ terdapat tulisan "Kanjeng Panembahan Senapati Bertahta Keradjaan Mataram" disertai informasi tahun-tahun penting.
Di sini terdapat kamar kecil (toilet) dan karena matahari sore tenggelam di sebelah barat tampak dari Gapura pintu ke-II ini, maka saya sempatkan mengambil gambar sunset.
Kita berjalan menuju ke gapura selanjutnya, yaitu Gapura pintu ke-II. Di sini terdapat pendopo dan pintu masuk terakhir menuju kompleks pemakaman.
Di kompleks pemakaman ini terdapat makam Sultan Hadiwijaya, Ki Ageng Pemanahan (Ayah Panembahan Senapati), Panembahan Senapati dan kerabatnya. Kemudian Ki Juru Martani, Panembagan Seda ing Krapyak, Sultan HBII, Adipati Paku Alam I, II, III dan IV.
Anw, kita tidak memasuki kompleks pemakaman dan melanjutkan perjalanan ke Sendang Seliran (tempat pemandian) yang posisinya terletak lebih bawah dari kompleks masjid dan makam, tentu saja melewati Gapura pintu masuk.
Di sebelah kanan Gapura terdapat Sendang Kakung untuk pemandian laki-laki, dan disebelah kiri terdapat Sendang Putri untuk pemandian perempuan.
Sendang Kakung |
Sendang Kakung (tampak dari luar pagar) |
Pintu Masuk Sendang Putri |
Kawasan Sendang Putri |
Demikian perjalanan kita menyusuri Kompleks Makam Raja dan Masjid Gede Mataram di Kotagede. Catatan bagi teman-teman yang ingin berziarah ke pemakaman, harap memperhatikan waktu dan pakaian saat berkunjung karena ada aturan khusus untuk memasuki area makam.
Selain itu, terdapat beberapa situs bersejarah lain seperti situs Cepuri, situs Watu Gilang, kompleks perumahan Between Two Gates dan juga kerajinan Perak di wilayah Kotagede ini.
Well, sekian jalan-jalan kali ini.. Spesial thanks to Mbak Nura & Mas Hastangka yang sudah menemani blusukan di Kompleks ini. See you di perjalanan selanjutnya.... 😉
Salam,